Kamis, 20 Mei 2010

PERILAKU DIFABEL / DISABILITY

Diposting oleh Ayax_Queen (Farah Najat Izzaty) di 00.46
BAB I
PENDAHULUAN

ψ Latar Belakang
Difabel (Different Ability) adalah seseorang yang keadaan fisik atau sistem biologisnya berbeda dengan orang lain pada umumnya. Perilaku merupakan manifesasi dari gejala-gejala kejiwaan yang ada. Jadi perilaku difabel merupakan perilaku seseorang, yang mana seseorang tersebut memiliki ketidak mampuan / kecacatan fisik maupun mental untuk melakukan sesuatu.
Ada sebagian orang yang menjadi difabel sejak lahir namun ada juga yang menjadi difabel karena mengalami suatu peristiwa. Akhir-akhir ini kita sering mendengar peristiwa kekerasan yang ditujukan atau tanpa sengaja mengenai seseorang. Sebagai contoh adalah peristiwa : tawuran, pemboman dan konflik bersenjata. Namun adapula peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba / tanpa perencanaan seperti kecelakaan dan bencana alam. Peristiwa- peristiwa inilah yang kemudian disebut bencana dan dapat menyebabkan seseorang yang mengalaminya menjadi difabel.
Oleh sebab itu dalam Analisis ini dengan kajian psikologis, akan dibahas tentang hal-hal tersebut, dengan pengertian, berikut dengan analisis identifikasi kasus, maupun dengan jenis-jenis dan penyebab / faktornya, yang diharapkan pula dari sini dapat digali berbagai alternatif yang dimungkinkan untuk lebih menghargai,menyama ratakan orang-orang diffabel.
ψ Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka pembahasan kali ini akan difokuskan pada masalah-masalah sebagai berikut:
• Pengertian diffabel / disability
• Bentuk-bentuk diffabel
• Bentuk dukungan terhadap diffabel
ψ Tujuan
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, maka diperoleh tujuan sebagai berikut:
• Memahami pengertian diffabel
• Mengetahui bentuk-bentuk diffabel
• Mengetahui dukungan apa saja yang dapat dilkukan terhadap penderita diffabel.


BAB II
PEMBAHASAN

ψ Pengertian
Penggunaan istilah untuk “kecacatan” memiliki transisi perubahan yang cukup signifikan sesuai dengan persepsi dan penerimaan masyarakat secara luas. Di dunia internasional, istilah disability mengalami perubahan, antara lain: cripple, handicapped, impairement, yang kemudian lebih sering digunakan istilah people with disability atau disabled people. People with disability kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi penyandang cacat yang pada awalnya menggunakan istilah penderita cacat.
Istilah penderita cacat sangat berkesan diskriminatif karena memandang seseorang memiliki salah satu jenis penyakit atau lebih yang mempengaruhi kondisi fisik seseorang. Perubahan penggunaan istilah penderita cacat menjadi penyandang cacat mulai dikenalkan pada penetapan UU no. 4 th. 1997, yang menempatkan posisi penyandang cacat dengan cenderung menghaluskan istilah tersebut. Istilah ini pada dasarnya masih digunakan secara luas di berbagai publikasi ataupun media massa, tetapi berbagai aktivis sosial berpendapat bahwa penggunaan istilah ini memiliki arti sempit yang masih tetap menempatkan seseorang dalam posisi yang tidak ‘normal’ dan tidak mampu karena kondisi kecacatan yang dimilikinya. Hingga akhirnya pada tahun 1997, penggunaan istilah difabel mulai dikenalkan kepada masyarakat secara luas.
Istilah difabel pertama kali dicetuskan oleh beberapa aktivis di Yogyakarta yang salah satunya adalah almarhum Dr. Mansour Fakih pada awal tahun 1997 (Ambulangsih, 2007; Priyadi 2006, Annisa 2005). Tetapi menurut Dr. Ikaputra (praktisi dan dosen Arsitektur UGM), istilah difabel muncul pertama kali di Inggris, namun sayangnya penulis belum dapat menemukan sumber-sumber yang dapat memperkuat statement tersebut. Penggunaan kata difabel adalah pegindonesiaan dari “diffabled people” yang merupakan kependekan dari Different Ability People (seseorang dengan kemampuan berbeda). Istilah ini merupakan salah satu upaya untuk merekontruksi pandangan, pemahaman, dan persepsi masyarakat umum pada nilai-nilai sebelumnya yang memandang seorang difabel adalah seseorang yang tidak normal, memiliki kecacatan sebagai sebuah kekurangan dan ketidakmampuan. Pemakaian kata difabel dapat dimaksudkan sebagai kata eufemisme, yaitu penggunaan kata yang memperhalus kata atau istilah yang digunakan sebelumnya. Tetapi secara luas Istilah difabel digunakan sebagai salah satu usaha untuk merubah persepsi dan pemahaman masyarakat bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan seorang difabel hanyalah sebagai seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik dan dia mampu melakukan segala aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda. Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih humanis dan sebagai suatu usaha untuk menghilangkan kekuatan ruang yang memiliki hubungan tidak adil/diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan mereka.
ψ Evolusi Paradigma Difabel
1. Moral Model
Moral model dipercaya merupakan cara pandang paling lama yang digunakan oleh masyarakat dalam memandang difabel. Cara pandang ini dapat dikatakan sebagai representasi dari kepercayaan bahwa difabilitas (kecacatan) merupakan hukuman atau dosa akibat dari perbuatan yang menyalahi norma masyarakat atau norma agama yang berlaku yang dilakukan seseorang ataupun keluarga. Moral Model ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan yang berkembang di masyarakat dan disebarluaskan oleh para pemimpin kepercayaan ( agama) melalui dogma yang disampaikan. Prilaku yang umum dilakukan terhadap difabel pada Moral Model ini adalah isolasi, pengucilan, dibunuh, dan pembuangan.
2. Medical Model
Medical Model memandang difabel sebagai orang yang sakit. Model ini mendefinisikan difabel sebagai sebuah kelemahan fisik dan mental yang berakibat pada ketidakmampuan atau keterbatasan individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dan yang membuat definisi ini adalah mereka yang tidak mengalami kondisi sebagai difabel. Pada model ini dokter, perawat kesehatan, dan ahli terapi fisik adalah kelompok yang memiliki kekuasaan dalam menentukan keputusan dan kebijakan atas kehidupan para difabel. Penyembuhan dan adaptasi terhadap kerusakan fisik melalui perlakuan medik, rehabilitasi, pendidikan khusus (luar biasa), konseling dan terapi fisik diyakini sebagai cara untuk mengatasi permasalahan difabel.

3. Civil Rights Model
Civil Rights Model memandang bahwa difabel sebagai individu yang memiliki hak yang setara sebagaimana warga masyarakat lain untuk memilih cara hidupnya yang mandiri dan kebebasan untuk menentukan keputusan terhadap arah hidup dan segala aspek penting yang berhubungan dengan kehidupannya. Diharapkan kesemua ini mampu mendorong terwujudnya integrasi difabel dengan masyarakat. Civil Rights Model memandang bahwa difabel sebagai persoalan masyarakat sehingga cara penyelesaiannya banyak berbentuk advokasi sistem hukum dan sistem sosial. Aktor utama dalam paradigma ini adalah para ahli hukum, aktivis gerakan difabel, dan community organiser. Dalam paradigma ini masalah dasar dari difabel adalah diskriminasi, prejudice (prasangka), pengucilan, dan pengingkaran terhadap hak dasarnya. Kita dapat melihat dengan jelas adanya perbedaan perlakuan baik di masyarakat maupun di tingkat struktur pemerintah bahwa pelayanan terhadap difabel selalu lebih rendah dari masyarakat lain sehingga mengakibatkan rendahnya akses pendidikan, ekonomi, dan kesehatan bagi para difabel. Guna mengatasi persoalan ini dalam paradigma ini dikembangkan beberapa bentuk aktivitas antara lain; sistem advokasi, legislasi terhadap hak sipil dan beberapa aktivitas politik yang diharapkan dapat meningkatkan akses ekonomi, sosial, pendidikan, layanan kesehatan, hak kerja, dan akses sumberdaya lingkungan.
4. Post Modern atau Social Model
Post Modern Model melihat difabel sebagai persoalan sosial yang menyangkut masalah sistem ekonomi, kebijakan, dan prioritasisasi terhadap distribusi sumberdaya, soal kemiskinan, pengangguran, dan cara pelayanan secara medik yang sudah dilakukan oleh masyarakat sejak lama terhadap difabel. Masalah dasar yang dihadapi oleh difabel pada paradigma ini adalah rendahnya pengakuan atau penerimaan masyarakat terhadap keberadan difabel sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat. Indikator dari masalah ini adalah tidak meratanya distribusi atau akses teknologi, asistensi terhadap difabel yang masih menggunakan paradigma medik, tidak adanya pencitraan yang baik dalam media masa, dan penempatan difabel dalam pusat rehabilitasi. Solusi yang ditawarkan dalam menyelesaikan persoalan ini adalah memandang difabel lebih sebagai persoalan social.
5. Paradigma Lama dan Baru
Meskipun paradigma Post Modern atau Social Model ini masih tergolong relatif baru, namun model ini telah menciptakan cara pendekatan baru masyarakat terhadap komunitas difabel. Kondisi ini juga telah mendorong masyarakat menciptakan cara pemahaman baru terhadap eksistensi kaum difabel. Masyarakat melihat bahwa persoalan difabel adalah produk interaksi antara karakteristik individu difabel sendiri (kondisi fisik maupun mental, status difabel itu sendiri, kondisi personal, status sosial ekonomi, dll) dengan karakteristik alam, masyarakat, budaya, dan lingkungan sosial. Sehingga paradigma ini lebih menekankan pada bagaimana pola interaksi masyarakat dan difabel, karena dalam Post Modern atau Sosial Model memandang persoalan difabel secara utuh dan menyeluruh.


BAB III
ANALISIS KASUS

Difabel (Different Ability) adalah merupakan seseorang yang keadaan fisik atau sistem biologisnya berbeda dengan orang lain pada umumnya, atau seseorang dengan kemampuan yang berbeda. Sebagai contoh, dalam video/kasuS (psico movie) ini dikisah, tentang john seorang difabel dengan tidak mempunyai kedua tangan dan lengan, akan tetapi tetap dapat melakukan seperti yang orang normal lakukan. john merasa, seorang difabel tidak harus berputus asa dengan keadaan yang dialaminya, karena john merasa bahwa, pada setiap orang merupakan difabel, kenapa?. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki kemampuan dan kelebihan yang berbeda-beda. Hanya saja pada kasus kali ini john sebagai contoh seorang diffabel yang tidak mempunyai kedua tangan.
Disini, Sering kali john merasa kesulitan untuk melakukan pekerjaan yang diharapkan bisa dilakukannya, akan tetapi akhirnya, john pun dapat melaluinya, seperti; mengambil sesuatu diatas rak, atau berbelanja di tempat umum, akan tetapi john akan merasa canggung ketika ada yang memperhatikan caranya dalam mengambil sesuatu. johnpun langsung kesal karena tantangan hidup sendiri, dan jauh dari kedua orang tua bukan semata-mata hanya bersifat misi. Bukannya john tidak ingin dianggap cacat ataupun semacamnya, akan tetapi untuk menyadari bahwa mereka tak ada. johnpun tidak takut untuk melakukan hal-hal yang mengenai fisik (seperti; berolahraga/fitness). terkadang john berpikir, john telah kehilangan “apa sebenarnya dirinya selama ini”, dalam aspek lain hidup john, john merasa bahwa kita semua butuh keseimbangan. Saat ini, karir john sangat memuaskan, tetapi ketidak seimbangan dalam hidup john adalah tidak adanya aspek keluarga didalam hidupnya atau bahkan aspek sosialnya. John mengatakan bahwa “sangat memaksa untuk mengenal dirimu sendiri, karena kau tak bisa menghindar dari dirimu sendiri”. Menurut john, “kau bisa cuma menonton tv berlama-lama, atau melakukan banyak hal, tapi kau harus pulang kerumah dan melakukan hal alamiah”. John merasa bahwa harus melakukan kontak mengetahui siapa john sebenarnya, apakah john sebagai anggota keluarga dirumah, ataukah john sebagai anggota masyarakat. john berusaha mencari tahu siapa sebenarnya dirinya, dia berusaha mencari tau jati dirinya sebenarnya. Tumbuh dengan jauh dari keluarga dan komunitas yang berbeda, memberi john untuk ketepatan berusaha. Himpunan dari seluruh keragu-raguannya, tetap berhubungan dengan rutinitasnya, dan keluarganya sangat sulit. Ia selalu pilih prioritas yang utama. John berkata; “sangat berbeda hidup sendirian disini, karena kita bertemu dengan banyak orang dan saat ketika aku kembali kerumah, aku merasakan mendapat kemampuan yang luar biasa, karena keadaan sangat berubah, bukan Cuma penerimaan saja, tapi hal lain yang sangat penting yang kurasakan ”. Keluarga membuat john mampu memandang sesuatu, itu mengingatkan kita dengan hal terpenting dalam hidup, sehingga dia mampu berbagi pesan dengan orang lain, mungkin yang terbaik dari semuanya, itu mampu membantu john terus bertahan. John berkata, “ketika harus tumbuh bersama tujuh saudara, kita harus berlomba meminta bagian, atau yang terlambat tak akan dapat. Kau tak akan tau hidup milikmu atau bukan, mereka juga bisa menyenangkan suasana. Mereka (keluarga john) juga tidak membatasi bahwa aku tidak mempunyai lengan, itu hanyalah john. Ada beberapa aspek yang selalu john usahakan dalam hidupnya, salah satunya adalah ungkapan rasa syukur, membantu orang lain, memfokuskan diri mereka dari apa yang mereka miliki dan yang tidak mereka miliki.


BAB IV
KESIMPULAN

Dalam kasus ini, john merupakan penderita diffabel (different ability) atau ketidak mampuan seseorang dalam melakukan sesuatu. John dikatakan diffabel dikarenakan tidak mempunyai kedua lengan. Akan tetapi dengan kekurangan tersebut, john berusaha berdiri sendiri tanpa harus berputus asa. Dia tidak tinggal bersama keluarganya, karena dia ingin lebih memahami arti hidup dan ingin mencari jati dirinya. Dia tidak ingin selalu bergantung pada orang lain, dan dia ingin dia lebih bisa dihargai oleh orang lain dan mengahargai orang lain. Dia juga ingin mengenali diri sendiri, dan kembali bertangung jawab atau mengambil alih kontrol terhadap diri sendiri, dan mendefinisikan kembali tujuan dan cita – cita hidup, mempelajari hal–hal baru yang bisa meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, membagi pengetahuan kepada orang lain, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi beban diri dan memberikan pembelajaran kepada orang lain.
John, sebagai disability ini sangat membutuhkan dukungan eksternal maupun internal, baik dari keluarga maupun lingkungan. Diantaranya adalah:
ψ Bentuk dukungan yang dapat diberikan keluarga atau orang terdekat
a. Mempelajari & memahami keadaan serta perasaan penderita difabel
b. Memberikan ruang padanya untuk memilih cara yang terbaik untuk pulih.
c. Memperlakukan penderita diffabel secara wajar / tidak memberikan perhatian yang berlebih – lebihan yang dapat membuat penyintas merasa tidak nyaman.
d. Melibatkan penyintas pada kegiatan sehari – hari.
e. Menghargai usaha – usahanya
ψ Bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh masyarakat dan pemerintah
a. Menerima kehadiran penyintas dalam lingkungan sosial.
b. Memahami bahwa penyintas bukanlah orang yang tidak berdaya. Penyintas perlu Mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka.
c. Memfasilitasi kebutuhan – kebutuhan penyintas dalam ruang gerak sosial dan pekerjaan.
d. Melibatkan penyintas dalam kegiatan – kegiatan kemasyarakatan sehingga mereka juga merasa terlibat, merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya.
ψ Peran psikolog / konselor dalam membantu penderita diffabel
Tidak jarang selain perubahan fisik terdapat pula perubahan yang sifatnya psikologis yang juga memerlukan penanganan. Namun ada kalanya baik penderita maupun keluarga tidak memperhatikan / menyadari faktor ini, mereka jadi menarik diri dari lingkungan, karena merasa berbeda dan khawatir akan tanggapan orang lain. Tidak adanya penanganan dari sisi psikologis dapat berakibat pada menurunnya kesehatan psikologis seseorang.
Di sinilah biasanya seorang psikolog / konselor berperan yaitu dengan memberikan dorongan / intervensi kepada penderita agar dapat kembali kepada fungsi sosialnya dan menerima keadaan dirinya yang baru. Psikolog dan konselor juga dapat memberikan psikoedukasi atau dukungan pada keluarga mengenai cara – cara mendampingi pasien.

0 komentar:

Posting Komentar

 

bLoG 'na AyaX Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review